Cerpen Dia Milikmu, Bukan Milikku!

contoh cerpen dia milikmu, bukan milikku

Contoh Cerpen

Cerpen adalah jenis karya sastra yang memaparkan kisah atau cerita tentang manusia dan seluk beluknya lewat tulisan pendek. Pada artikel kali ini saya akan memberikan sebuah contoh cerpen cinta yang berjudul Dia Milikmu, Bukan Milikku karya Chalista Dhara Inas. Silakan meyiimak contoh cerpen Dia Milikmu, Bukan Milikku.

Dia Milikmu, Bukan Milikku!
Oleh : Chalista Dhara Inas

    Sinar itu sudah tidak asing lagi untukku. Ketika mataku mengarah pada sekotak kaca yang menempel di bawah detik-detik waktu itu. Sesuatu yang membuatku tersadar bahwa aku punya perjalanan. “Sayang, bangun. Lekaslah pakai seragammu!” suara tua itu mengingatkanku pada tanggung jawabku. “Iya Bu.” segera aku injakkan keramik-keramik tua itu.
    “Sarapan dulu nak, sebelum berangkat sekolah nanti tolong antarkan gaun pengantin ini dulu ke Ibu Florida” . yah, ibuku wanita penghasil kain-kain indah dan ayahku hanya bisa membantu menjahit kain-kain itu di rumah. Karena kecelakaan 5 tahun lalu yang membuat ayah harus duduk di kursi dua roda yang membuat kami ingin menangis.
    “Loh ko gaun pengantin bu? Siapa yang mau nikah? Leti kan masih kelas 3 SMA sama sepertiku. Apa dia mau dijodohkan?”
    Leti itu anak tunggal ibu florida. Ia sangat cantik, berpakaian menarik, bertingkahlaku asyik. Tapi terkadang, ia suka nekat dengan apa yang ia inginkan. Apa saja yang ia inginkan harus tercapai. Ia beruntung terlahir sebagai anak keturunan darah biru. Dan yang pasti, Leti itu sahabatku. Sahabat dekatku sejak kecil. Orang tua kami pun sudah kenal sangat dekat. Dan aku. Aku Mawar.
    “Entahlah. Ibu juga tidak tahu siapa yang nikah. Dan untuk siapa gaun pengantin ini. Yang ibu ingat, satu bulan lalu ibu florida Cuma memesan gaun pengantin ini sama ibu.“
    Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku saja di hadaan ibu. Dan, aku segera beranjak dari kursi tua ini dan tak lupa mencium tangan kanan ayah dan ibu.
    Tok.. tok..
    “Assalamualaikum…”
    “Eh mawar, masuk nduk.. Leti sedang sarapan. Tunggu sebentar yah..”
    “Ini ada titipan dari ibu..”
    “Wakh, Bu Wili itu sangat cepat ya kerjanya. Salam buat ibumu yah..”
    “Iya bu, “
    Kaki-kaki kamipun mulai melangkah menuntut ilmu. Kebetulan, sekolah dan rumah kami hanya berjarak 500 meter saja. Jadi kami sudah biasa jalan kaki. Walaupun terkadang, Leti sering mengajakku naik motor. Tapi aku rasa, sinar pagi sangat bagus untuk kesehatan tulang-tulang dan kaki kita ketika digerakkan.
    “Mawar, apa kamu sudah siap menghadapi Ujian besok lima hari lagi?”. Suara Leti pun membuatku berhenti sejenak
    “Ya siap-siap saja. Kita kan sudah belajar giat dan berusaha. Insyaallah semuanya pasti lancer ko. Berdoa saja.”
    “Lalu setelah lulus nanti, kamu mau lanjutin studymu dimana? Kamu kan cerdas dan genius banget. Kamu pasti bisa dapet beasiswa ke luar negeri.” tanya leti padaku
    “Nggak lah leti, walaupun ada beasiswa aku tetap mau lanjutin di sini saja. Aku tetap ingin bersama orang tuaku di sini. Mungkin aku akan bekerja dulu agar aku bisa kuliah dengan biaya sendiri. Aku tak tega melihat orang tuaku sekarang..”
    Leti pun terdiam dan hanya menepak-nepakkan jarinya di pundakku..
    “Bagaimanapun juga, kamu harus bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Karena kamu satu-satunya harapan orang tuamu” aku hanya tersenyum mendengar semangat pagi Leti untukku. Leti anak yang selalu membuat hati senang.
    Letih, lega, senang, dan entah apa lagi yang aku raakan saat ini terjadi padaku. Dari kejauhan, Leti berlari memelukku.
    “Kita telah menyelesaikan soal-soal menggilakan itu, mawar. Kita berhasil. Ayo kita senang-senang..” aku pun tersenyum dan merasakan kesenangan
    Pandangan ini mengarah pada kelamnya penerangan ruangan. Langit-langit yang menampakkan kekumuhan membuatku berpikir, apakah ini akhir dari pendidikanku? Orang tuaku pun sudah jelas tidak sanggup membiayaiku. Tapi bagaimana dengan bintang itu? Apa aku harus merelakan bintang itu pergi? Oh Tuhan, aku masih ingin melanjutkan pendidikan ini seperti teman-temanku yang lain.
    “Mawar, keluarlah. Leti di sini..” suara ibu membuatku terkejut. Malam-malam begini mengapa Leti datang ke sini. Lalu, aku pun segera menemui Leti.
“Mawar, mamah ingin menjodohkanku dengan anak temannya. Mamah sudah memutuskan ini harus terjadi. Aku nggak mau, aku masih ingin sekolah. Aku masih ingin sepertimu yang hari-harinya ditemani dengan buku-buku dan pena.” Aku terkejut. Aku langsung berfikir dengan gaun pengantin yang dipesannya bebrapa bulan lalu
    “Leti, orang tuamu pasti ingin membuatmu bahagia. Kamu bersyukur karena segala keinginanmu selalu tersedia”
    “Tapi bu, aku belum mau menikah. Aku masih ingin menikmati masa mudaku dengan teman-teman sebayaku. Lebih baik aku terlahir menjadi anak orang miskin, dari pada menjadi anak orang kaya tetapi aku tidak bisa meraih apa yang aku impikan”
    “Leti! Tidak pantas kamu bicara seperti itu. Orang miskin itu tidak enak. Kamu akan lebih merasa kesusahan. Lihat aku! Aku ini bingung! Apa aku masih bisa melanjutkan sekolah, atau bahkan cukup sampai disini saja.”
    Mata ibu melotot ke arahku. Aku pun sadar betul apa yang aku ucapkan ini salah besar. Segera aku masuk kamar dan meninggalkan Ibu dan Leti di ruangan ini. Entah apa yang telah aku lakukan pasti menyakitkan untuk ibu.
    “Mawar buka pintu dong. Aku pengen main sama kamu..” lagi-lagi Leti. Pagi-pagi begini ada apa dia ke rumahku. Apa dia terlalu frustasi memikirkan masalahnya? Padahal aku juga sedang ada masalah besar.
    Dengan terpaksa, aku pun menghampiri leti dan ikut dengannya ke taman kota. Di sana dia menawariku untuk menemaninya di rumahnya. Karena, ketika mentari lenyap laki-laki yang akan dijodohkan dnegannya itu akan datang. Dengan terpaksa, aku pun menerima ajakan leti untuk menemaninya di rumah, karena dia sahabatku.
    Ketika sang raja malam mulai menampakan sinarnya, laki-laki itu muncul dihadapanku. Laki-laki itu mengenakan dirinya. Aku hanya menahan tawa melihat tinggah Leti yang sedikit cuek padanya. Laki-laki yang bernama Ray. Ray Purnama Dallu. Memang terlihat seeperti keturunan darah biru. Tampilannya juga modis, lumayan ganteng. Tapi kenapa leti tetap pada pendiriannya?
    Setelah lama kami bertiga bercakap-cakap, hanya saja, cukup satu, dua patah kata saja. Tapi aku cukup yakin bahwa Ray ini laki-laki yang baik. Atau mungkin leti hanya pura-pura sok cuek saja. Karena ia sudah terlanjur menolaknya di depanku kemarin?
    Tanpa disengaja dan tersadari, Leti telah membuat aku menjadi dekat dengan Ray. Semakin berjalannya waktu, rasa suka ini mulai terbuka. Sikap Ray yang menurutku baik, mulai muncul. Dan, karena sikap leti yang sok cuek, membuatnya tidak bisa melihat kebaikan Ray. Tapi aku sadar satu hal. Bahwa Ray hanya menyukai Leti dan berusaha memilikinya.
    Pada gelapnya malam, dan terangnya bintang serta terangnya rembulan, Ray ingin betemu dengan Leti hanya berdua saja. Aku mengetahui semuanya, karena leti sering menceritakan semuanya padaku. Tapi tetap saja ia sok cuek. Dengan paksaanku dan karena ia memang harus bisa menghargai kebaikan Ray, akhirnya ia menerima ajakan Ray. Hatiku terdiam di atas kursi kayu yang mulai lapuk ini. Dan hanya ada leti serta ray yang terbayang dalam pikiranku.
    “Apa Leti baik-baik saja yah? Apakah Ray dan Leti akan jatuh cinta setelah ini? Apa Ray yakin dengan Leti?” akh, pikiranku sudah mulai tak jelas. Ngelantur tak jelas. Pada akhirnya aku mulai putus asa dan kembali ke ranjang. Berharap tidak terjadi apa-apa pada Leti dan Ray.
    Kriing… kring...
    Bunyi ponsel membangunkanku dari mimpi malamku. Samar-samar mata ini memandang. Layar yang penuh dengan nomor tak jelas, ku pencetlah tombol berwarna hijau yang terlihat kabur itu.
    “Hai Mawar… ini Ray..” suara itu mengagetkanku. Dan, seolah mata ini menjadi terang cahaya. Ternyata, Ray mendapatkan nomorku dari Leti. Dan, ia mengajaku membeli sebuah cincin untuk Leti. Betapa terkejutnya aku mendnegar niat baik Ray. Dan, sudah pasti Leti jatuh hati padanya.
    Dengan gagahnya Ray menjemput di taman kota dengan menggunakan mobil putihnya. Semakin membuatku ingin lari dari hadapannya. Tapi apa daya, ini untuk Ray dan Leti. Dengan asyik dan nyamannya, aku dan Ray sama-sama membicarakan impian-impian kita masing-masing.
    “Mawar, bagaimana kalau kita sarapan dulu?”
    Ray mengajakku sarapan dulu sebelum membeli cincin. Aku pun mengiyakan ajakannya.
    Selesai makan, sebuah motor menabrakku dengan sangat kencang. Tidak trejadi apa-apa. Hanya saja, kakiku kesleo sedikit. Ray menopangku dan menuntunku masuk mobil. Dengan wajah yang penuh kecemasan, aku semakin yakin bahwa dia laki-laki yang penuh tanggung jawab. Tanpa ku sadari, mataku kosong menerawangnya penuh harap. Sampai aku teteskan air mata dihadapannya. Dengan penuh kekhawatiran, Ray pun menghapus air mataku.
    “Sudah, jangan menangis.. kakimu tidak terlalu parah ko. Nanti aku gendong..” Ray membuat hariku semakin menyenangkan.
    Ray menawariku untuk kembali pulang. Namun, tidak mungkin aku langsung pulang. Ini semua demi Leti dan Ray. Akhirnya, aku dan Ray pun sampai di toko perhiasan. Ray menggandeng tanganku dan menuntunku perlahan. Ku biarkan Ray dengan bebas memilih cincin yang pas untuk Leti. Aku memandangi laki-laki yang berada di hadapanku itu.
    “Bisakah kau berikan berlian itu untukku?”
    Ray berbalik dan memakaikan cincin itu untukku. Aku pun sangat terkejut dan ingin rasanya meneteskan air mata ini. Sungguh beruntungnaya Leti, bisa memilikimu. Ray kembali ke meja penuh sinar itu. Sungguh, rasanya tak ingin lepaskan sinar-sinar itu.
    “Mawar, jemarimu indah sekali” senyum itu mengarah padaku
    “Berikan yang terbaik untuknya” ray pun mengangguk mengerti
    “Mawar, apa aku harus menerima cincin ini? Dia terlalu baik untukku. Dan, apakah aku harus menyudahi semua kerasnya hatiku untuknya?” kata-kata leti sungguh membuatku semakin tak tenang. Apa aku harus mengikhlaskan impian kedua ini hilang? Tapi bagaimana aku bisa melenyapkan rasa suka ini. Tuhan, beri aku cara untuk menganggap semua ini tiada.
    Bagaimana mungkin aku bisa melenyapkan Ray dari hatiku? Sedangkan setiap hari aku harus menemani Ray dan Leti bersama-sama.
    Waktu ini kuputuskan untuk menyendiri di tempat terindahku dan menolak semua tawaran yang Leti berikan. Sampai akhirnya, Leti dan Ray bisa pergi bersama. Yah, mungkin Leti sudah bisa membuka hatinya. Dan aku harus melupakannya.
    “Mawar cepat ke taman kota sekarang juga.” Pesan singkat dari Leti membuat langkah cepatku menuju taman kota. Di taman kota aku temukan Ray yang tergeletak penuh dengan darah di bawah tangisan Leti yang ketakutan.
    “Leti, apa yang terjadi? Bawa Ray ke rumah sakit sekarang juga. Cepat” segera ku angkat Ray ke dalam mobilnya. Jelas Leti yang mengendarai mobil dengan wajah cemasnya. Kami terdiam sunyi. Aku yang memandang Ray penuh dengan kekhawatiran.
    Roda-roda kecil menopang tubuh Ray yang lemas. Hingga Ray tetidur di bawah cairan murni itu. Leti meninggalkannya untuk mengambil barang-barang yang diperlukan dan mengabarkan kepada kedua orang tua mereka. Tapi pikiranku tiba-tiba mengarah pada Ray.
    “Apa aku pantas berada di sisi orang-orang berdarah biru? Leti yang seharusnya menemani ray di sini.” Ku raih jemarinya dan ingin rasanya aku dekap tubuhnya yang lemas itu. Ku teteskan air mata di atas tubuh Ray. Betapa aku terlalu mengharapkannya, hingga aku sulit untuk meraihnya. Tanpa ku ketahui, Leti mengerti dengan air mata dan genggaman jemari yang ku berikan kepada Ray.
    Air mata ini ku hentikan. Aku ingin Ray mendapatkan cintanya. Akan ku lanjutkan perjalananku sendiri. Perlahan, aku lepaskan genggamanku dan beranjak meninggalkannya. Hingga aku melihat Ray dan Leti bersanding. Ketika kulangkahkan kaki menuju ambang pintu dan ku hapus air mata ini. Leti menarik pintu dan memelukku erat.
    “Maafkan aku Mawar, aku terlalu bodoh. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi. Kamu telah terluka karenaku. Tapi aku tidak pernah memahami luka yang kau terima. Kamu terlalu baik. Kamulah yang pantas mendapatkan cinta ini, bukan aku. Aku terlalu egois, kawan..” isakan tangis Leti pun membuat mata Ray terbuka.
    “Leti… Leti..”
    Mata kami pun tertuju pada laki-laki itu. Dan, sungguh hati ini seperti sayatan-sayatan. Nama itu bukan namaku. Yang membuat aku yakin, Ray memang menginginkan Leti, bukan Mawar. Tangan halus Leti pun menarikku melangkah menuju lelaki itu. Dan membuka mulutnya
    “Ray, tenanglah.. kamu baik-baik saja. Mawarlah yang membawamu ke sini. Dan mawarlah yang….” Kudekap mulut leti segera. Aku tak ingin sampai ray tahu tentang perasaanku padanya.
    “Leti telah jatuh hati padamu. Usahamu tidak sia-sia ko.” Dengan senyum yang aku utarakan, dan dengan usahaku menahan air mata, mengembanglah seutas senyum ray yang menenangkan hati.
    Terangkatlah sebuah lengan darinya. Lengan yang tertuju pada jemari Leti. Tatapan leti membuatku semakin mengerti. Entah apa yang ada di dalam pikiran leti, yang jelas aku mengerti. Bahwa leti akan segera memiliki ray.
    “Mawar, apakah kamu baik-baik saja?” tanya leti yang semakin tak ingin membuatu terluka
    “Hahahhaa.. sungguh aku baik-baik saja..” terangku dengan canda tawa
    Letipun memandang ray penuh harap. Dan aku tahu bahwa ray hanya cinta leti. Dan aku mencoba berpikir dewasa, aku tak ingi ada yang terluka. Aku tak bisa memaksa hatinya. Karena mereka telah jatuh hati.
    Aku semakin ingin meninggalkan ruangan ini. Aku semakin lelah melihat mereka. Dan aku ingin memotong lidah ini. Namun, apalah daya aku tak bisa. Dan aku harus merelakannya pergi. Serta terlintaslah dalam pikiranku bahwa.
    "Leti, raylah yang terbaik untukmu. Terimalah dia. Dia sudah terlalu lelah mengejarmu.. dia sudah terlalu lelah memperjuangkanmu.."
    "Itu tidak mungkin. Lalu bagaimana denganmu? Kenapa kau biarkan hatimu terluka?" gerakan bibir leti yang semakin membuatku ingin pergi dari ruangan ini
    "Leti.. dia milikmu.. bukan milikku. Dia untukmu.. bukan untukku..." aku segera berbalik, dan air mata ini mulai berjatuhan. Ku biarkan mata ini tertutup
    "Tuhan... semoga mereka bahagia.. aku percaya, ada rencana yang paling indah untukku. Ray... mengertilah, bahwa aku meyayangimu..."
    "Mawar.. betapa hebat dirimu..." suara leti membuatku ingin kembali memeluknya
    "Mawar... terima kasih atas ketulusanmu untukku.." suara ray pun seakan mimpi dalam lelap senjaku...  
Previous
Next Post »